Oleh Ina Muslimah, S.Pd.
Andro_3_98_957_7_287_2012
Andro_3_98_957_7_287_2012
Perbincangan
seru bersama seorang guru BK baru.
“Bun,
bagaimana cara memberi anak-anak pengertian dan motivasi belajar? sekarang ini
mereka nampak lesu dan kurang bersemangat.” aku berkonsultasi dengan guru BK
anak didikku.
“Bun,
saya berusaha membantu untuk menumbuhkan semangat belajar anak-anak kelas
bunda. Sebenarnya tidak terlalu bermasalah ketika anak-anak dikelaskan menurut
nilai raport mereka. Guru bisa menyiasatinya melalui modalitas belajar anak.
Kita tahu setidaknya ada tiga jenis modalitas belajar anak yaitu audio, visual,
dan kinestetik. Bunda harus mengenal modalitas belajar anak. Bunda coba
formulasikan berbagai metode pembelajaran yang mewadahi modalitas tersebut.
Kalau anak-anak belajar menurut modalitas mereka, akan lebih mudahlah dalam
menyerap pelajaran. Ya, memang saya pun tidak sepakat dengan grading. Dampak psikologisnya terlihat
sekali. Kelas yang paling bawah kemungkinan besar tertinggal.” panjang lebar
guru tersebut menjelaskan tentang pentingnya melihat sisi modalitas belajar.
“Mungkin
buku Quantum Learning dan Quantum Teaching masih hangat dibacanya. Sedikit
berkorelasi deh dengan konsultasiku.”
bisikku dalam hati.
***
Aku
memasuki kelas seperti biasanya dengan penuh semangat dan penuh harapan.
Tiba-tiba di tengah pembelajaran seorang anak mengacungkan tangan.
“Bun,
tolong stel musik dong! Aku kan anak audio, jadi harus belajar sambil dengerin
musik.” suara Azizah menggelegar mengagetkan teman-temannya.
Permintaan
Azizah menyulut teman-temannya untuk meminta yang serupa.
“Iya
Bun, kalo aku visual. Jadi Bunda harus banyak gambar atau bawa Infocus.
Pertemuan besok kita nonton ya!” Diva turut meminta.
“Aku
juga audio, Bun.” Afra pun menyahut.
“Aku
mau di luar kelas Bun. Kita main dulu yuk! Latihannya nanti saja, soalnya aku
kan kinestetik.” Nusaibah yang biasanya cuek pun ikut bicara.
Aku
hanya terheran-heran dengan permintaan anak didiku. Tanpa sadar, selama itu aku
mengernyitkan dahi sehingga membuat kerutan di keningku. Akhirnya aku berdialog
dengan anak didikku.
“Kalian
baca dari mana tentang modalitas belajar audio, visual, dan kinestetik?”
tanyaku pada anak didikku.
“Kita
kemaren tes modalitas belajar sama bunda BK. Katanya biar kita lebih cepat
memahami pelajaran, kita perlu belajar menurut gaya belajar kita. Guru kita
harus bisa memenuhi kebutuhan belajar kita. Jadi Bunda juga harus memenuhi
permintaan kita” suara cempreng Lathifah menyerocos polos.
Aku
menjadi geli sendiri dengan jawaban polos anak-anakku.
“Apakah
kalian diberi tahu juga bahwa ketika bunda memberi catatan dan menggambar itu
bagian dari visual?” tanyaku.
“Enggak,
Bun.” jawab anak-anak berjamaah.
“Apakah
kalian diberitahu juga bahwa ketika bunda menjelaskan itu bagian dari audio?”
aku bertanya kembali.
“Emang
gitu, Bunda?” tanya Iffah yang mencoba meyakinkan.
“Apakah
ketika kita bermain sejenak di kelas dengan senam otak atau ice breaking itu juga bagian dari
kinestetik?” aku mencoba mengingatkan mereka.
“Iya
kali ....” Wardah menjawab tak yakin.
“Pertanyaan
terakhir untuk kalian. Apakah dijelaskan juga bahwa kalian pun harus tetap
belajar di asrama? Tentunya belajar berdasarkan modalitas belajar kalian.
Apakah kalian sudah menerapkannya? Atau tetap ogah belajar?”
“Belum
Bun. Emang harus gitu ya bun?” Wardah tampak baru memahami.
“Walaupun
demikian, bunda akan coba sesuatu yang sepertinya belum pernah dilakukan selama
kalian di sini.” demikian aku menutup dialog dengan anak didikku lalu
kukembangkan senyuman.
“Apa itu Bun?” Alifah sepertinya penasaran.
“Baiklah,
bunda bagi kalian menjadi kelompok berikut .... Tolong setiap kelompok
menyiapkan karton, gunting, dus bekas, benang kasur, lem, mistar, tutup botol
bekas, ....” Aku memberi rincian alat yang harus dibawa oleh masing-masing kelompok.
“Mau
ngapain sih Bun?” anak-anak semakin penasaran.
“Senin
depan kita belajar di laboratorium IPA.” jawabanku semakin membuat anak-anak
heran.
Selepas
pembelajaran di hari itu, aku menghadap ke ruang BK untuk mengkonfirmasi tes
modalitas yang telah dilaksanakan kemarin. Modalitas belajar anak didik tidak
cukup hanya diketahui oleh anak didik dan guru BK saja. Kupikir setiap guru
bidang studi mempunyai hak yang sama untuk mengetahui modalitas anak didiknya. Di
samping itu pula anak didik perlu diberikan pemahaman yang utuh tentang manfaat
tes modalitas tersebut termasuk strategi mengelola modalitas belajar mereka
baik di sekolah ataupun di asrama. Jangan sampai dipahami secara keliru
sehingga kejadian yang kualami tidak terulang.
***
Suatu saat Matematika akan
memiliki laboratorium belajar sendiri.
“Baik
anak-anak, apakah kalian sudah siap dengan pembelajaran hari ini?” tanyaku di
tengah kesibukan anak didikku mengeluarkan alat dan bahan yang kuminta.
“Kenapa
coba harus di sini? kita mau apa Bun?” tanya Priska tak mengerti dengan
bundanya.
“Setiap
ketua kelompok tolong ke depan untuk mengambil lembar kegiatan dan jangka
sorong. Kita akan bereksperimen tentang mencari rumus keliling dan luas daerah
lingkaran. Kita Praktikum” jelasku pada mereka.
“Hah,
praktikum? Memangnya MTK ada praktikumnya? Lagian Bun, kita dah tau kali
tentang rumus keliling dan luas lingkaran. Kenapa harus dicari lagi, trus
gimana coba nyarinya?” Lathifah meragukan.
“Nah,
makanya sekarang kamu tahu kan kalau MTK juga ada praktikumnya. Ibaratnya,
kalau dulu kalian minum obat dicekoki, sekarang kalian sendiri yang meracik
obatnya. Hehe...Maksud bunda, kalau dulu kalian dapat rumus itu karena diberi
tahu guru, kalau sekarang kalian cari dari awal. Itu bedanya kalian sama anak SD.
Kecuali kalau kalian tetap mau disamakan dengan anak SD. Langkah pengerjaannya
ada di LKS, bunda pun akan membimbing. Bagaimana, siap?” kucoba meyakinkan
mereka.
“Ok,
Bun!” jawab anak-anak serentak.
Di
hari itu anak-anak mengikuti pembelajaran dengan khusyuknya. Setiap anak
terlibat dalam praktikum yang telah kurancang jauh-jauh hari. Mereka melakukan
pengukuran, pencatatan data, induksi konsep, pembuatan media rancang rumus,
sampai perumusan. Aku tak ingin anak-anakku menjadi anak instan yang haus pemberian
dan tidak sabar dengan sebuah proses.
“Oh,
jadi gini ya Bun ceritanya bisa lahir rumus keliling dan luas lingkaran? Bun,
kita bisa ga jadi penemu kaya Al-Khawarizmi, Einstein, Ibnu Sina tapi aku lemah
di MTK?” Nusaibah melontarkan tanya.
“Bisa!
Kamu tidak perlu menjadi seperti mereka untuk jadi seorang penemu. Tokoh-tokoh
tersebut bisa menjadi penemu karena mereka rajin merenung, bukan melamun lho.
Mereka banyak berpikir tentang sesuatu hal. Walaupun banyak di antara mereka
yang pernah putus sekolah, tapi mereka tak berhenti belajar hanya karena itu.”
jelasku dengan semangatnya.
Pembelajaran
hari itu selesai dengan tuntas. Mereka mendapatkan suasana baru.
***
“Bunda,
kita belajar apa sekarang?” Lulu bertanya dengan semangatnya.
“Bunda
akan berstory telling ria,
judulnya Cinta Abah dan Ambu. Tolong kalian dengarkan baik-baik kisahnya.
Catat dan ingat baik-baik informasi-informasi penting yang ada dalam kisah
tersebut.” aku berbicara dengan gaya yang berlebihan seperti seorang pencerita.
“Hah,
Bunda mau aneh-aneh lagi nih. hahaha...” Wardah tertawa dengan apa yang telah
kusampaikan. Sepertinya dia menangkap sesuatu yang jahil pada diriku.
“Sudah,
sudah... Ayo, kita mula! Suatu hari
hiduplah sepasang suami istri yang saling mencintai. Dalam usianya yang renta,
mereka belum dikaruniai seorang anak pun....”
Kusampaikan
kisah tersebut dengan dramatis disertai percakapan antar tokoh. Aku pun
mengolah suaraku menyesuaikan dengan karakter tokoh dalam cerita. Tak lupa
kuiringi kisah yang kusampaikan dengan alunan musik yang seirama. Anak-anak
hanya terkekeh dengan cerita yang kusampaikan. Ada juga anak yang amat
konsentrasi dan hati-hati dengan setiap informasi dalam kisah tersebut.
“Sudah
Bun?” tanya anak-anak memastikan.
“Ya,
sudah. Silahkan hitung berapa banyak pohon yang diperlukan untuk memagari kebun
Abah yang berbentuk lingkaran tadi dan berapa meter persegi luasnya? trus bla
bla bla..., hehehe...” aku langsung melontarkan pertanyaan-pertanyaan.
“Hah,
Bunda kok tiba-tiba sih? Ulangi dong ceritanya!” Lulu memprotesku.
“Bunda
mah ada-ada aja” Iffah pun menggerutu.
“Bun,
aku udah” Afra telah menyelesaikan pekerjaannya.
“Luar
biasa, Excellent!” aku memberinya
penghargaan. Bagi anak-anak audio, metode ini cukup efektif.
Setelah
satu dua metode kuracik dan kupraktikan, anak-anak mendapatkan nuansa berbeda
dari yang telah mereka dapatkan. Bagi diriku sendiri hal itu menumbuhkan energi
baru untuk tetap bersemangat dan memberi hal-hal baru lainnya. Sesungguhnya
bagi seorang guru semuanya bisa menjadi mungkin. Syaratnya hanya satu, adanya
keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar