Jumat, 27 Juli 2012

Agar Tak Keliru Memahami

Oleh Ina Muslimah, S.Pd.
Andro_3_98_957_7_287_2012

                Perbincangan seru bersama seorang guru BK baru.
                “Bun, bagaimana cara memberi anak-anak pengertian dan motivasi belajar? sekarang ini mereka nampak lesu dan kurang bersemangat.” aku berkonsultasi dengan guru BK anak didikku.
                “Bun, saya berusaha membantu untuk menumbuhkan semangat belajar anak-anak kelas bunda. Sebenarnya tidak terlalu bermasalah ketika anak-anak dikelaskan menurut nilai raport mereka. Guru bisa menyiasatinya melalui modalitas belajar anak. Kita tahu setidaknya ada tiga jenis modalitas belajar anak yaitu audio, visual, dan kinestetik. Bunda harus mengenal modalitas belajar anak. Bunda coba formulasikan berbagai metode pembelajaran yang mewadahi modalitas tersebut. Kalau anak-anak belajar menurut modalitas mereka, akan lebih mudahlah dalam menyerap pelajaran. Ya, memang saya pun tidak sepakat dengan grading. Dampak psikologisnya terlihat sekali. Kelas yang paling bawah kemungkinan besar tertinggal.” panjang lebar guru tersebut menjelaskan tentang pentingnya melihat sisi modalitas belajar.
                “Mungkin buku Quantum Learning dan Quantum Teaching masih hangat dibacanya. Sedikit berkorelasi deh dengan konsultasiku.” bisikku dalam hati.
***
                Aku memasuki kelas seperti biasanya dengan penuh semangat dan penuh harapan. Tiba-tiba di tengah pembelajaran seorang anak mengacungkan tangan.
                “Bun, tolong stel musik dong! Aku kan anak audio, jadi harus belajar sambil dengerin musik.” suara Azizah menggelegar mengagetkan teman-temannya.
                Permintaan Azizah menyulut teman-temannya untuk meminta yang serupa.
                “Iya Bun, kalo aku visual. Jadi Bunda harus banyak gambar atau bawa Infocus. Pertemuan besok kita nonton ya!” Diva turut meminta.
                “Aku juga audio, Bun.” Afra pun menyahut.
                “Aku mau di luar kelas Bun. Kita main dulu yuk! Latihannya nanti saja, soalnya aku kan kinestetik.” Nusaibah yang biasanya cuek pun ikut bicara.
                Aku hanya terheran-heran dengan permintaan anak didiku. Tanpa sadar, selama itu aku mengernyitkan dahi sehingga membuat kerutan di keningku. Akhirnya aku berdialog dengan anak didikku.
                “Kalian baca dari mana tentang modalitas belajar audio, visual, dan kinestetik?” tanyaku pada anak didikku.
                “Kita kemaren tes modalitas belajar sama bunda BK. Katanya biar kita lebih cepat memahami pelajaran, kita perlu belajar menurut gaya belajar kita. Guru kita harus bisa memenuhi kebutuhan belajar kita. Jadi Bunda juga harus memenuhi permintaan kita” suara cempreng Lathifah menyerocos polos.
                Aku menjadi geli sendiri dengan jawaban polos anak-anakku.
                “Apakah kalian diberi tahu juga bahwa ketika bunda memberi catatan dan menggambar itu bagian dari visual?” tanyaku.
                “Enggak, Bun.”  jawab anak-anak berjamaah.
                “Apakah kalian diberitahu juga bahwa ketika bunda menjelaskan itu bagian dari audio?” aku bertanya kembali.
                “Emang gitu, Bunda?” tanya Iffah yang mencoba meyakinkan.
                “Apakah ketika kita bermain sejenak di kelas dengan senam otak atau ice breaking itu juga bagian dari kinestetik?” aku mencoba mengingatkan mereka.
                “Iya kali ....” Wardah menjawab tak yakin.
                “Pertanyaan terakhir untuk kalian. Apakah dijelaskan juga bahwa kalian pun harus tetap belajar di asrama? Tentunya belajar berdasarkan modalitas belajar kalian. Apakah kalian sudah menerapkannya? Atau tetap ogah belajar?”
                “Belum Bun. Emang harus gitu ya bun?” Wardah tampak baru memahami.
                “Walaupun demikian, bunda akan coba sesuatu yang sepertinya belum pernah dilakukan selama kalian di sini.” demikian aku menutup dialog dengan anak didikku lalu kukembangkan senyuman.
                 “Apa itu Bun?” Alifah sepertinya penasaran.
                “Baiklah, bunda bagi kalian menjadi kelompok berikut .... Tolong setiap kelompok menyiapkan karton, gunting, dus bekas, benang kasur, lem, mistar, tutup botol bekas, ....” Aku memberi rincian alat yang harus dibawa oleh masing-masing kelompok.
                “Mau ngapain sih Bun?” anak-anak semakin penasaran.
                “Senin depan kita belajar di laboratorium IPA.” jawabanku semakin membuat anak-anak heran.
                Selepas pembelajaran di hari itu, aku menghadap ke ruang BK untuk mengkonfirmasi tes modalitas yang telah dilaksanakan kemarin. Modalitas belajar anak didik tidak cukup hanya diketahui oleh anak didik dan guru BK saja. Kupikir setiap guru bidang studi mempunyai hak yang sama untuk mengetahui modalitas anak didiknya. Di samping itu pula anak didik perlu diberikan pemahaman yang utuh tentang manfaat tes modalitas tersebut termasuk strategi mengelola modalitas belajar mereka baik di sekolah ataupun di asrama. Jangan sampai dipahami secara keliru sehingga kejadian yang kualami tidak terulang.
***
                Suatu saat Matematika akan memiliki laboratorium belajar sendiri.
                “Baik anak-anak, apakah kalian sudah siap dengan pembelajaran hari ini?” tanyaku di tengah kesibukan anak didikku mengeluarkan alat dan bahan yang kuminta.
                “Kenapa coba harus di sini? kita mau apa Bun?” tanya Priska tak mengerti dengan bundanya.
                “Setiap ketua kelompok tolong ke depan untuk mengambil lembar kegiatan dan jangka sorong. Kita akan bereksperimen tentang mencari rumus keliling dan luas daerah lingkaran. Kita Praktikum” jelasku pada mereka.
                “Hah, praktikum? Memangnya MTK ada praktikumnya? Lagian Bun, kita dah tau kali tentang rumus keliling dan luas lingkaran. Kenapa harus dicari lagi, trus gimana coba nyarinya?” Lathifah meragukan.
                “Nah, makanya sekarang kamu tahu kan kalau MTK juga ada praktikumnya. Ibaratnya, kalau dulu kalian minum obat dicekoki, sekarang kalian sendiri yang meracik obatnya. Hehe...Maksud bunda, kalau dulu kalian dapat rumus itu karena diberi tahu guru, kalau sekarang kalian cari dari awal. Itu bedanya kalian sama anak SD. Kecuali kalau kalian tetap mau disamakan dengan anak SD. Langkah pengerjaannya ada di LKS, bunda pun akan membimbing. Bagaimana, siap?” kucoba meyakinkan mereka.
                “Ok, Bun!” jawab anak-anak serentak.
                Di hari itu anak-anak mengikuti pembelajaran dengan khusyuknya. Setiap anak terlibat dalam praktikum yang telah kurancang jauh-jauh hari. Mereka melakukan pengukuran, pencatatan data, induksi konsep, pembuatan media rancang rumus, sampai perumusan. Aku tak ingin anak-anakku menjadi anak instan yang haus pemberian dan tidak sabar dengan sebuah proses.
                “Oh, jadi gini ya Bun ceritanya bisa lahir rumus keliling dan luas lingkaran? Bun, kita bisa ga jadi penemu kaya Al-Khawarizmi, Einstein, Ibnu Sina tapi aku lemah di MTK?” Nusaibah melontarkan tanya.
                “Bisa! Kamu tidak perlu menjadi seperti mereka untuk jadi seorang penemu. Tokoh-tokoh tersebut bisa menjadi penemu karena mereka rajin merenung, bukan melamun lho. Mereka banyak berpikir tentang sesuatu hal. Walaupun banyak di antara mereka yang pernah putus sekolah, tapi mereka tak berhenti belajar hanya karena itu.” jelasku dengan semangatnya.
                Pembelajaran hari itu selesai dengan tuntas. Mereka mendapatkan suasana baru.
***
                “Bunda, kita belajar apa sekarang?” Lulu bertanya dengan semangatnya.
                “Bunda akan berstory telling ria, judulnya  Cinta Abah dan Ambu. Tolong kalian dengarkan baik-baik kisahnya. Catat dan ingat baik-baik informasi-informasi penting yang ada dalam kisah tersebut.” aku berbicara dengan gaya yang berlebihan seperti seorang pencerita.
                “Hah, Bunda mau aneh-aneh lagi nih. hahaha...” Wardah tertawa dengan apa yang telah kusampaikan. Sepertinya dia menangkap sesuatu yang jahil pada diriku.
                “Sudah, sudah... Ayo, kita mula! Suatu hari hiduplah sepasang suami istri yang saling mencintai. Dalam usianya yang renta, mereka belum dikaruniai seorang anak pun....”
                Kusampaikan kisah tersebut dengan dramatis disertai percakapan antar tokoh. Aku pun mengolah suaraku menyesuaikan dengan karakter tokoh dalam cerita. Tak lupa kuiringi kisah yang kusampaikan dengan alunan musik yang seirama. Anak-anak hanya terkekeh dengan cerita yang kusampaikan. Ada juga anak yang amat konsentrasi dan hati-hati dengan setiap informasi dalam kisah tersebut.
                “Sudah Bun?” tanya anak-anak memastikan.
                “Ya, sudah. Silahkan hitung berapa banyak pohon yang diperlukan untuk memagari kebun Abah yang berbentuk lingkaran tadi dan berapa meter persegi luasnya? trus bla bla bla..., hehehe...” aku langsung melontarkan pertanyaan-pertanyaan.
                “Hah, Bunda kok tiba-tiba sih? Ulangi dong ceritanya!” Lulu memprotesku.
                “Bunda mah ada-ada aja” Iffah pun menggerutu.
                “Bun, aku udah” Afra telah menyelesaikan pekerjaannya.
                “Luar biasa, Excellent!” aku memberinya penghargaan. Bagi anak-anak audio, metode ini cukup efektif.
                Setelah satu dua metode kuracik dan kupraktikan, anak-anak mendapatkan nuansa berbeda dari yang telah mereka dapatkan. Bagi diriku sendiri hal itu menumbuhkan energi baru untuk tetap bersemangat dan memberi hal-hal baru lainnya. Sesungguhnya bagi seorang guru semuanya bisa menjadi mungkin. Syaratnya hanya satu, adanya keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya.
***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar