Jumat, 27 Juli 2012

The Lowest

Oleh Ina Muslimah, S.Pd. 
Andro_1_98_955_7_287_2012

     Menapaki usia empat tahun menjalani profesiku sebagai guru di sebuah sekolah berasrama, atau lebih trennya disebut boarding school penuh kisah unik yang tak kusangka menjadi bagian hidupku.
      Bermula saat seorang teman mengajakku bergabung dengan sekolah baru yang sedang tumbuh. Nia namanya, kala itu dia telah menjadi seorang guru fisika di sebuah  sekolah boarding, tapi atas sebuah alasan Nia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, kota dimana kami mengabdi saat ini. Aku mulai menapakkan kaki di kampus peradaban. Aku hanya bermodal idealisme pendidik fresh graduate kampus pendidikan terbaik, menurutku. Sebagai guru Matematika baru bagi sekolah yang memang kekurangan guru bidang studi tersebut, tentunya hal ini adalah kesempatan emas untuk menunjukkan kualitas.  Bekal semangat yang membara bak prajurit Al-Fatih yang siap menaklukkan Konstantinopel, kulangkahkan kaki menapaki setiap jengkal tanah yang akan kutinggali dan kugarap potensinya setidaknya selama 1001 malam, atau sama halnya dengan seorang murid yang menuntaskan pendidikannya selama 3 tahun.
                Sekolah boarding berbeda dengan sekolah biasa. Di sekolah jenis ini aku dituntut memberi pelayanan yang lebih. Sehingga untuk menunjang aktivitas di boarding setiap karyawan mendapatkan fasilitas rumah dinas. Karena statusku yang masih lajang, aku bersama lima orang karyawan baru lainnya ditempatkan di satu rumah. Di rumah tersebut Nia menjadi teman kamarku.
Keinginan merasakan nafas kehidupan sebuah sekolah formal begitu menghinggapi jiwa. Tiba saat rapat kerja yang salah satu agendanya pengumuman struktur sekolah dan wali kelas dimulai. Visi peradaban yang ingin diwujudkan oleh para founding fathers tentunya membuat pengisian kursi-kursi penting di sekolah bukanlah sembarang orang. Mereka adalah sumber daya yang mumpuni dan memahami karakter anak didiknya.
                Sontak ketika namaku disebut, aku langsung kaget.
                “Ya, Bunda Ina menjadi guru matematika kelas 8 dan wali kelas 8 Khodijah”, tegas kepala sekolah.
                “Tapi pak, saya kan guru baru di sini, belum ada pengalaman. Ada yang lebih layak menjadi wali kelas” segera aku ajukan protes.
                ”Maaf bun, tidak ada SDM lagi” selorohnya seolah tak ada lagi celah untukku menolaknya.
                “Aku juga jadi wali kelas 7 nih. Mengajar Fisika juga di kelas 7. Waduh...” Nia merespon keputusan itu pula.
                Entah apa yang menarik dengan kelas 8 ini. Hanya saja setiap guru menjadi sibuk membicarakannya dan memberiku selamat.
                “Alhamdulillah, untung aku ga jadi wali kelas 8 Khodijah”, atau
                “Untungnya digantikan guru baru. Aduh, ga deh menghadapi si anu atau si ana...” kira-kira begitulah respon mereka.
                ”Ah, selama aku tidak meminta, semoga menjadi berkah bagiku” bisikku dalam hati.
                Seorang guru senior dan berwibawa menyapa dan membisikiku sesuatu, “Bun, ini kelas low dan banyak bermasalah. Bunda siap-siap saja ya…” sambil berlalu dan tersenyum menyeringai.
                Selepas rapat kerja, setidaknya dua malam sebelum tahun pelajaran baru dimulai, kulalui dengan segala macam pikiran yang mungkin itu sedikit bentuk bisikan setan yang menghembuskan keraguan dan sugesti negatif. Namun aku merasa tak sendiri. Seorang teman yang membawaku ke tempat ini selalu setia menemani dan menguatkanku, Bunda Nia.
                “Saudariku, tempat ini membutuhkan kehadiranmu. Bertahanlah, dan aku tahu kamu mampu. Semuanya mungkin meragukanmu dan anak didikmu di kelas itu, tapi buktikanlah mereka salah.” Begitu Nia bertutur menenangkanku.
***
                Upacara hari pertama dimulai, berikut berbagai pengumuman terkait komposisi kelas dan pekenalan guru baru. Hari itu tak ada KBM, tapi khusus pertemuan wali kelas. Kuamati calon anak didikku di kelas 8. Nampak kilauan wajah yang penuh dengan harapan dan keraguan. Wajah yang berharap bahwa tahun ini mereka jalani dengan lebih baik. Ya, setidaknya itu yang terlihat setelah aku dengar terjadi konflik antara kelas 9 dan kelas 8—persaingan antara anak sulung dengan anak kedua—tahun lalu hanya karena masalah kepindahan asrama.
                Perkenalan wali kelas dilaksanakan di kelas masing-masing. Energi positif kukumpulkan demi menyapa anak didikku di kelas 8 Khodijah. Salam pun kuhaturkan kala masuk, tapi kulihat wajah-wajah kuyu dan rendah diri.
                Tiba-tiba, seorang anak bertanya,”Ko kelas kita kaya gini sih bun, kita di grading ya?”, begitulah seorang Dian bertanya dengan polosnya.
                “Siapa yang mengatakan seperti itu?”, tanyaku
                “Ko tega sih bun…kita tahu kita juga nakal. Tapi kenapa mesti kita yang di kelas bawah? Kelas ini sama sekali ga ada yang ranking satu, ga ada yang pinter. Malu…”, beberapa anak ramai menolak kebijakan sekolah.
                Apa mau dikata, aku hanya mampu mengajak mereka berpikir positif bahwa semua ini agar pembelajarannya lebih fokus, agar treatment yang diberikan lebih mudah, dan sebagainya.
Seorang Mary bertanya,”guru kita ga akan diganti-ganti lagi kan bun?”
                “Insya Allah tidak. Bunda temani kalian sampai sampai kalian injakkan kaki di panggung wisuda kelulusan” yakinku pada mereka.
                Meski begitu, banyak anak yang berusaha tersenyum, tapi tak sedikit anak yang tetap mencemooh. Seiring dengan berbagai argumen yang dilontarkan para guru, para pencetus kebijakan pun belum benar-benar tahu apa yang akan dilakukan dengan sistem grading yang telah dibuat. Batinku, aku harus tetap bergerak dan melakukan sesuatu.
                Hari berikutnya aku tahu akan banyak hal menarik yang menghinggapi hidupku. Memang begitulah adanya. Di hari pertama aku mulai mengajar, seorang bunda memberiku pesan-pesan bijak kurasa, ya beliau Bunda Fulanah.
                ”Bun, maaf nih…anak-anak di sini kalau sudah terbiasa dan enak dengan guru yang lama, mereka susah menerima guru yang baru. Bahkan kita bisa habis oleh mereka, karena mereka kadang lebih tahu banyak hal daripada kita.”
                “Oya, sumpeh loe...maksudnya, oh, begitu bu? Hmm…tantangan yang lumayan ya?” jawabku, dengan suara yang memperlihatkan ketidakpercayadirianku. Hari itu dua kelas yang harus kulalui. Pikiranku penuh dengan berbagai siasat penaklukan kelas.
                “Assalamu’alaykum semua, perkenalkan nama bunda Ina Muslimah…bla...bla...bla...” aku memberikan salam dan mulai memperkenalkan diriku. Anak-anak hanya diam terpaku dengan wajah ragu.
                “Ayo kita senam otak dulu ya, semuanya tolong berdiri!” ajakku dengan semangat walau mereka menyeringai geli.
                Suasana kami mencair. Respon anak-anak terhadapku menjadi positif. Pertanyaan yang pernah kudengar kembali terlontar walau di kelas yang berbeda.
                “Bun, kita ga akan ganti-ganti guru lagi kan? Bunda harus bareng kita sampai lulus ya!” tanya Aufa meyakinkan.
                Setelah kuselidiki ternyata anak didikku ini terlalu sering dan terlalu cepat mengalami pergantian guru dalam satu tahun. Sayangnya yang terparah itu terjadi pada mata pelajaran Matematika.
                Kulewati hari itu dengan penuh semangat
                Kudapati bintangnya benderang
                Kurasa kartu As berada di tanganku saat itu. Andromeda, begitu nama angkatan kelas 8 ini disebut dari waktu ke waktu semakin kukenali semakin dekat. Kata-kataku cukup berpengaruh bagi mereka.
                Di setiap kelas yang kumasuki selalu ada anak-anak unik yang membuat jiwa petualangku menuntut untuk bernafas lega dan jiwa keingintahuanku berontak untuk mengeyangkan laparnya. Ah, tapi bagiku semua mereka luar biasa. Khususnya di kelasku, ada Mary yang memanggilku “Bu Mus”. Terlalu menyanjung kurasa, karena diriku sangatlah jauh dari taraf seorang Bu Mus Laskar Pelangi. Mary salah satu murid yang masuk dalam daftar “berkebutuhan khusus (bermasalah)”. pernah suatu kali dia berhasil mengisi lembar jawaban ulangan dengan penuh, dan ketika kubaca isinya amat kukagumi dan kusimpan baik-baik pada fileku. Mary menulis dua halaman surat berisi curahan hatinya padaku. kemudian ada Dian si Tomboy yang rajin membawa mobil Tamiya dalam kelas, dan masih banyak lainnya. Kebanyakan dari anak “berkebutuhan khusus” ada di kelasku, 8 Khodijah.
                Tiga bulan setidaknya 8 Khodijah mampu bertahan dengan komposisi yang sama, walaupun protes tentang kondisi mereka tetap berdatangan. Tentunya akupun bisa bertahan karena semangat dari seorang Nia. Setiap hari sepulang sekolah pasti kukeluarkan semua cerita tentang anak-anak didikku.
                “Bagaimana pekerjaan asrama kemarin, kalian bisa selesaikan?” tanyaku saat kelasku tengah berlangsung.
                “Bun, kita masih bingung tapi kita juga bingung mau tanya siapa. Di antara kita tidak ada yang benar-benar paham”, Lyan sang ketua murid memberiku penjelasan
                Ya, memang aku tahu diantara mereka tak satu pun yang memiliki dasar matematika yang baik. Sekedar kabataku (kali, bagi, tambah, kurang) masih banyak yang keliru.
                “Baiklah, mari kita bahas bersama ya. Ingat perjanjian kita, jika ada yang tidak paham wajib baginya untuk bertanya”
                Selalu di kelas ini kujelaskan secara rinci setiap konsep. Jika belajar ketika itu diibaratkan berlari dan tiga kelas yang lain berlari dengan kecepatan 60 km/jam, maka kelas ini berlari 25 km/jam. Jika tiga kelas lain cukup mengulas materi 1kali, kelasku mungkin harus 3-4 kali.
Bel pergantian jam berbunyi. Aku berpapasan dengan guru lainnya saat keluar kelas.
                “Aduh, sabar. Kelas 8 Khodijah setelah ini”, umpat guru tersebut.
                “Hai Bun, titip anak-anak saya ya. Terima kasih” pintaku.
                Memang tidak sedikit guru yang banyak mengeluh sebelum atau selepas mengisi kelasku. seperti komentar salah seorang guru berikut
                “Aduh bun, ampun deh...saya ga tahu harus gimana lagi di kelas Bunda. Mereka tuh pasif. Ditanya ini ga bisa, ditanya itu ga bisa. Ulangan remed terus.”
                “Bun, maaf. Klo boleh saya tahu berapa anak yang biasanya bertanya pada saat pelajaran Bunda?” tanyaku.
                “Nyaris ga ada. paling satu dua orang. Klo pun saya tanya juga pada diam. Ga tau deh Bun, cape nih” jawabnya dengan nada mengeluh.
                Aku tak ingin terlalu memikirkan perkataan guru lainnya, karena kupikir mereka akan sama saja mengeluh dan mengeluh tanpa menawarkan solusi.
                “Kalau begitu Bun, tolong katakan pada mereka ketika mereka bertanya atau menjawab semua akan dicatat dan dilaporkan pada wali kelas”, sedikit ide yang mungkin belum terpikir olehnya kutawarkan.
                Kurasa pekan itu adalah pekan yang membuatku gerah. Bagaimanapun wali kelas juga manusia. Aku  merasa ini hanya amanah yang seharusnya tidak bertumpuk pada tugas strukturalku sebagai wali kelas. Pihak berwenang yang seharusnya bertanggung jawab atas kondisi ini belum juga memberikan solusi konkret. Rekan guru satu jenjang pun angkat tangan tak merasa bertanggung jawab. Kulalui malam-malamku bersama seorang Nia yang mau mendengar isi hatiku. Aku pun mendiskusikan tentang rencanaku.
                “Aku akan membagi mereka dalam kelompok kecil yang terjadwal. Mungkin akan setiap malam aku menemani mereka. Boleh jadi beberapa kali mereka ke rumah”
                “Aku dukung rencanamu. Itu bagus. Tapi jangan terlalu malam ya. Mintalah ijin pula pada orang rumah yang lain”, dukung Nia
                Aku pun meminta ijin pada yang lainnya tentang penggunaan rumah untuk anak-anak belajar tambahan. Namun sepertinya ada yang tidak sepakat. Dia tidak berbicara langsung, tapi terlihat dari gesturenya.
                Tiba pada ketidaksiapanku. Beberapa anak datang ke rumah untuk belajar. Aku jelas tak dapat menolak.
                “Bun, kita mau belajar. Bingung dengan yang tadi dijelaskan” anak-anak beralasan
                “Baik, masuklah. Tapi mungkin belajar di atas, karena di bawah tidak kondusif. sudah pada tidur. dekat kamar bunda saja” jelasku.
                Mereka menikmati belajarnya diselingi curhatan ala remaja putri hingga pukul 9 malam lewat. Mereka pun akhirnya pulang.
                “Akhirnya aku bisa istirahat, hufft...” ucapku. Namun tiba-tiba dua orang teman serumah menyeretku ke salah satu kamar mereka dan menunjuk-nunjukku, aku hanya bengong dan syok.
                “Heh, sini Na! kamu tuh ya, ko bisa-bisanya anak-anak belajar di atas, ga lihat apa kondisi rumah?” protes temanku yang satu.
                “Iya Na, lagian ga usah sampe malam begini, berisik! Saya ga mau kamu bawa anak-anak lagi ke rumah” tegas teman yang lain dengan telunjuk menunjuk-nunjuk tepat di mukaku.
           Aku hanya terdiam dan segera masuk kamar. Tangisku pecah di kegelapan malam. Nia tak coba menghentikan tangisku. Dia hanya memperdengarkanku murattal dari Hpnya dan berpesan,”Sabar, ukh!”
        Kubiarkan air mataku mengalir di tengah lantunan ayat suci. Ayat demi ayat semakin dalam membawaku dalam ketenangan dan kekuatan. Hingga aku terlelap dalam tidurku.
***
           Setiap keputusan dalam kehidupan membawa kita pada kejutan-kejutan yang dibawa oleh keputusan tersebut. Kita tak pernah tahu apa yang akan dihadapi di masa depan. Ketika pertama kali kuputuskan untuk menginjakkan kaki dan menjadi seorang pendidik, aku tak pernah menyangka akan menghadapi liku masalah seperti ini. Di awal karirku sebagai seorang pendidik aku dipertemukan dengan anak-anak yang begitu homogen berdasarkan kasta intelektual. Uniknya aku mendapat kesempatan manis untuk menjadi wali kelas mereka dengan kategori kelas the lowest.  Ternyata waktu menahanku. Jika aku memilih mundur pada saat itu, aku belum tentu dapat melihat mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang siap bertahan di tengah ketakberdayaan mereka atas sistem yang telah diterapkan, di tengah himpitan keluhan dan cemoohan, dikala yang lain berguguran.
             Seorang guru adalah pejuang peradaban yang semestinya mampu berhadapan dengan segala macam kondisi dan segala macam karakter siswa.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar