Oleh Ina
Muslimah, S.Pd.
Andro_1_98_955_7_287_2012
Andro_1_98_955_7_287_2012
Menapaki usia empat tahun menjalani profesiku sebagai
guru di sebuah sekolah berasrama, atau lebih trennya disebut boarding school penuh kisah unik yang
tak kusangka menjadi bagian hidupku.
Bermula saat seorang teman mengajakku bergabung dengan
sekolah baru yang sedang tumbuh. Nia namanya, kala itu dia telah menjadi
seorang guru fisika di sebuah sekolah boarding, tapi atas sebuah alasan Nia
memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, kota dimana kami mengabdi saat
ini. Aku mulai menapakkan kaki di kampus peradaban. Aku hanya bermodal
idealisme pendidik fresh graduate
kampus pendidikan terbaik, menurutku. Sebagai guru Matematika baru bagi sekolah
yang memang kekurangan guru bidang studi tersebut, tentunya hal ini adalah
kesempatan emas untuk menunjukkan kualitas.
Bekal semangat yang membara bak prajurit Al-Fatih yang siap menaklukkan
Konstantinopel, kulangkahkan kaki menapaki setiap jengkal tanah yang akan
kutinggali dan kugarap potensinya setidaknya selama 1001 malam, atau sama
halnya dengan seorang murid yang menuntaskan pendidikannya selama 3 tahun.
Sekolah boarding berbeda dengan sekolah biasa. Di
sekolah jenis ini aku dituntut memberi pelayanan yang lebih. Sehingga untuk
menunjang aktivitas di boarding setiap karyawan mendapatkan fasilitas rumah
dinas. Karena statusku yang masih lajang, aku bersama lima orang karyawan baru
lainnya ditempatkan di satu rumah. Di rumah tersebut Nia menjadi teman kamarku.
Keinginan merasakan nafas
kehidupan sebuah sekolah formal begitu menghinggapi jiwa. Tiba saat rapat kerja
yang salah satu agendanya pengumuman struktur sekolah dan wali kelas dimulai.
Visi peradaban yang ingin diwujudkan oleh para founding fathers tentunya membuat pengisian kursi-kursi penting di
sekolah bukanlah sembarang orang. Mereka adalah sumber daya yang mumpuni dan
memahami karakter anak didiknya.
Sontak ketika namaku disebut, aku langsung kaget.
“Ya, Bunda Ina menjadi guru matematika kelas 8 dan wali
kelas 8 Khodijah”, tegas kepala sekolah.
“Tapi pak, saya kan guru baru di sini, belum ada
pengalaman. Ada yang lebih layak menjadi wali kelas” segera aku ajukan protes.
”Maaf bun, tidak ada SDM lagi” selorohnya seolah tak
ada lagi celah untukku menolaknya.
“Aku juga jadi wali kelas 7 nih. Mengajar Fisika juga
di kelas 7. Waduh...” Nia merespon keputusan itu pula.
Entah apa yang menarik dengan kelas 8 ini. Hanya saja
setiap guru menjadi sibuk membicarakannya dan memberiku selamat.
“Alhamdulillah, untung aku ga jadi wali kelas 8
Khodijah”, atau
“Untungnya digantikan guru baru. Aduh, ga deh
menghadapi si anu atau si ana...” kira-kira begitulah respon mereka.
”Ah, selama aku tidak meminta, semoga menjadi berkah
bagiku” bisikku dalam hati.
Seorang guru senior dan berwibawa menyapa dan
membisikiku sesuatu, “Bun, ini kelas low dan banyak bermasalah. Bunda siap-siap
saja ya…” sambil berlalu dan tersenyum menyeringai.
Selepas rapat kerja, setidaknya dua malam sebelum
tahun pelajaran baru dimulai, kulalui dengan segala macam pikiran yang mungkin
itu sedikit bentuk bisikan setan yang menghembuskan keraguan dan sugesti
negatif. Namun aku merasa tak sendiri. Seorang teman yang membawaku ke tempat
ini selalu setia menemani dan menguatkanku, Bunda Nia.
“Saudariku, tempat ini membutuhkan kehadiranmu.
Bertahanlah, dan aku tahu kamu mampu. Semuanya mungkin meragukanmu dan anak
didikmu di kelas itu, tapi buktikanlah mereka salah.” Begitu Nia bertutur
menenangkanku.
***
Upacara hari pertama dimulai, berikut berbagai
pengumuman terkait komposisi kelas dan pekenalan guru baru. Hari itu tak ada
KBM, tapi khusus pertemuan wali kelas. Kuamati calon anak didikku di kelas 8.
Nampak kilauan wajah yang penuh dengan harapan dan keraguan. Wajah yang
berharap bahwa tahun ini mereka jalani dengan lebih baik. Ya, setidaknya itu
yang terlihat setelah aku dengar terjadi konflik antara kelas 9 dan kelas 8—persaingan
antara anak sulung dengan anak kedua—tahun lalu hanya karena masalah kepindahan
asrama.
Perkenalan wali kelas dilaksanakan di kelas
masing-masing. Energi positif kukumpulkan demi menyapa anak didikku di kelas 8
Khodijah. Salam pun kuhaturkan kala masuk, tapi kulihat wajah-wajah kuyu dan
rendah diri.
Tiba-tiba, seorang anak bertanya,”Ko kelas kita kaya
gini sih bun, kita di grading ya?”,
begitulah seorang Dian bertanya dengan polosnya.
“Siapa yang mengatakan seperti itu?”, tanyaku
“Ko tega sih bun…kita tahu kita juga nakal. Tapi
kenapa mesti kita yang di kelas bawah? Kelas ini sama sekali ga ada yang
ranking satu, ga ada yang pinter. Malu…”, beberapa anak ramai menolak kebijakan
sekolah.
Apa mau dikata, aku hanya mampu mengajak mereka
berpikir positif bahwa semua ini agar pembelajarannya lebih fokus, agar treatment yang diberikan lebih mudah,
dan sebagainya.
Seorang Mary bertanya,”guru
kita ga akan diganti-ganti lagi kan bun?”
“Insya Allah tidak. Bunda temani kalian sampai sampai
kalian injakkan kaki di panggung wisuda kelulusan” yakinku pada mereka.
Meski begitu, banyak anak yang berusaha tersenyum,
tapi tak sedikit anak yang tetap mencemooh. Seiring dengan berbagai argumen
yang dilontarkan para guru, para pencetus kebijakan pun belum benar-benar tahu
apa yang akan dilakukan dengan sistem grading
yang telah dibuat. Batinku, aku harus tetap bergerak dan melakukan sesuatu.
Hari berikutnya aku tahu akan banyak hal menarik yang
menghinggapi hidupku. Memang begitulah adanya. Di hari pertama aku mulai
mengajar, seorang bunda memberiku pesan-pesan bijak kurasa, ya beliau Bunda
Fulanah.
”Bun, maaf nih…anak-anak di sini kalau sudah terbiasa
dan enak dengan guru yang lama, mereka susah menerima guru yang baru. Bahkan
kita bisa habis oleh mereka, karena mereka kadang lebih tahu banyak hal
daripada kita.”
“Oya, sumpeh loe...maksudnya, oh, begitu bu?
Hmm…tantangan yang lumayan ya?” jawabku, dengan suara yang memperlihatkan
ketidakpercayadirianku. Hari itu dua kelas yang harus kulalui. Pikiranku penuh
dengan berbagai siasat penaklukan kelas.
“Assalamu’alaykum semua, perkenalkan nama bunda Ina
Muslimah…bla...bla...bla...” aku memberikan salam dan mulai memperkenalkan
diriku. Anak-anak hanya diam terpaku dengan wajah ragu.
“Ayo kita senam otak dulu ya, semuanya tolong
berdiri!” ajakku dengan semangat walau mereka menyeringai geli.
Suasana kami mencair. Respon anak-anak terhadapku
menjadi positif. Pertanyaan yang pernah kudengar kembali terlontar walau di
kelas yang berbeda.
“Bun, kita ga akan ganti-ganti guru lagi kan? Bunda
harus bareng kita sampai lulus ya!” tanya Aufa meyakinkan.
Setelah kuselidiki ternyata anak didikku ini terlalu
sering dan terlalu cepat mengalami pergantian guru dalam satu tahun. Sayangnya
yang terparah itu terjadi pada mata pelajaran Matematika.
Kulewati hari
itu dengan penuh semangat
Kudapati bintangnya
benderang
Kurasa kartu As berada di tanganku saat itu.
Andromeda, begitu nama angkatan kelas 8 ini disebut dari waktu ke waktu semakin
kukenali semakin dekat. Kata-kataku cukup berpengaruh bagi mereka.
Di setiap kelas yang kumasuki selalu ada anak-anak
unik yang membuat jiwa petualangku menuntut untuk bernafas lega dan jiwa
keingintahuanku berontak untuk mengeyangkan laparnya. Ah, tapi bagiku semua
mereka luar biasa. Khususnya di kelasku, ada Mary yang memanggilku “Bu Mus”. Terlalu
menyanjung kurasa, karena diriku sangatlah jauh dari taraf seorang Bu Mus
Laskar Pelangi. Mary salah satu murid yang masuk dalam daftar “berkebutuhan
khusus (bermasalah)”. pernah suatu kali dia berhasil mengisi lembar jawaban
ulangan dengan penuh, dan ketika kubaca isinya amat kukagumi dan kusimpan
baik-baik pada fileku. Mary menulis dua halaman surat berisi curahan hatinya
padaku. kemudian ada Dian si Tomboy yang rajin membawa mobil Tamiya dalam
kelas, dan masih banyak lainnya. Kebanyakan dari anak “berkebutuhan khusus” ada
di kelasku, 8 Khodijah.
Tiga bulan setidaknya 8 Khodijah mampu bertahan
dengan komposisi yang sama, walaupun protes tentang kondisi mereka tetap
berdatangan. Tentunya akupun bisa bertahan karena semangat dari seorang Nia.
Setiap hari sepulang sekolah pasti kukeluarkan semua cerita tentang anak-anak
didikku.
“Bagaimana pekerjaan asrama kemarin, kalian bisa
selesaikan?” tanyaku saat kelasku tengah berlangsung.
“Bun, kita masih bingung tapi kita juga bingung mau
tanya siapa. Di antara kita tidak ada yang benar-benar paham”, Lyan sang ketua
murid memberiku penjelasan
Ya, memang aku tahu diantara mereka tak satu pun yang
memiliki dasar matematika yang baik. Sekedar kabataku (kali, bagi, tambah,
kurang) masih banyak yang keliru.
“Baiklah, mari kita bahas bersama ya. Ingat
perjanjian kita, jika ada yang tidak paham wajib baginya untuk bertanya”
Selalu di kelas ini kujelaskan secara rinci setiap
konsep. Jika belajar ketika itu diibaratkan berlari dan tiga kelas yang lain
berlari dengan kecepatan 60 km/jam, maka kelas ini berlari 25 km/jam. Jika tiga
kelas lain cukup mengulas materi 1kali, kelasku mungkin harus 3-4 kali.
Bel pergantian jam
berbunyi. Aku berpapasan dengan guru lainnya saat keluar kelas.
“Aduh, sabar. Kelas 8 Khodijah setelah ini”, umpat
guru tersebut.
“Hai Bun, titip anak-anak saya ya. Terima kasih”
pintaku.
Memang tidak sedikit guru yang banyak mengeluh sebelum
atau selepas mengisi kelasku. seperti komentar salah seorang guru berikut
“Aduh bun, ampun deh...saya ga tahu harus gimana lagi
di kelas Bunda. Mereka tuh pasif. Ditanya ini ga bisa, ditanya itu ga bisa.
Ulangan remed terus.”
“Bun, maaf. Klo boleh saya tahu berapa anak yang
biasanya bertanya pada saat pelajaran Bunda?” tanyaku.
“Nyaris ga ada. paling satu dua orang. Klo pun saya
tanya juga pada diam. Ga tau deh Bun, cape nih” jawabnya dengan nada mengeluh.
Aku tak ingin terlalu memikirkan perkataan guru
lainnya, karena kupikir mereka akan sama saja mengeluh dan mengeluh tanpa
menawarkan solusi.
“Kalau begitu Bun, tolong katakan pada mereka ketika
mereka bertanya atau menjawab semua akan dicatat dan dilaporkan pada wali
kelas”, sedikit ide yang mungkin belum terpikir olehnya kutawarkan.
Kurasa pekan itu adalah pekan yang membuatku gerah.
Bagaimanapun wali kelas juga manusia. Aku
merasa ini hanya amanah yang seharusnya tidak bertumpuk pada tugas
strukturalku sebagai wali kelas. Pihak berwenang yang seharusnya bertanggung
jawab atas kondisi ini belum juga memberikan solusi konkret. Rekan guru satu
jenjang pun angkat tangan tak merasa bertanggung jawab. Kulalui malam-malamku
bersama seorang Nia yang mau mendengar isi hatiku. Aku pun mendiskusikan
tentang rencanaku.
“Aku akan membagi mereka dalam kelompok kecil yang
terjadwal. Mungkin akan setiap malam aku menemani mereka. Boleh jadi beberapa
kali mereka ke rumah”
“Aku dukung rencanamu. Itu bagus. Tapi jangan terlalu
malam ya. Mintalah ijin pula pada orang rumah yang lain”, dukung Nia
Aku pun meminta ijin pada yang lainnya tentang
penggunaan rumah untuk anak-anak belajar tambahan. Namun sepertinya ada yang
tidak sepakat. Dia tidak berbicara langsung, tapi terlihat dari gesturenya.
Tiba pada ketidaksiapanku. Beberapa anak datang ke
rumah untuk belajar. Aku jelas tak dapat menolak.
“Bun, kita mau belajar. Bingung dengan yang tadi
dijelaskan” anak-anak beralasan
“Baik, masuklah. Tapi mungkin belajar di atas, karena
di bawah tidak kondusif. sudah pada tidur. dekat kamar bunda saja” jelasku.
Mereka menikmati belajarnya diselingi curhatan ala
remaja putri hingga pukul 9 malam lewat. Mereka pun akhirnya pulang.
“Akhirnya aku bisa istirahat, hufft...” ucapku. Namun
tiba-tiba dua orang teman serumah menyeretku ke salah satu kamar mereka dan
menunjuk-nunjukku, aku hanya bengong dan syok.
“Heh, sini Na! kamu tuh ya, ko bisa-bisanya anak-anak
belajar di atas, ga lihat apa kondisi rumah?” protes temanku yang satu.
“Iya Na, lagian ga usah sampe malam begini, berisik!
Saya ga mau kamu bawa anak-anak lagi ke rumah” tegas teman yang lain dengan
telunjuk menunjuk-nunjuk tepat di mukaku.
Aku hanya terdiam dan segera masuk kamar. Tangisku
pecah di kegelapan malam. Nia tak coba menghentikan tangisku. Dia hanya memperdengarkanku
murattal dari Hpnya dan berpesan,”Sabar, ukh!”
Kubiarkan air mataku mengalir di tengah lantunan ayat
suci. Ayat demi ayat semakin dalam membawaku dalam ketenangan dan kekuatan. Hingga
aku terlelap dalam tidurku.
***
Setiap keputusan dalam kehidupan membawa kita pada
kejutan-kejutan yang dibawa oleh keputusan tersebut. Kita tak pernah tahu apa
yang akan dihadapi di masa depan. Ketika pertama kali kuputuskan untuk
menginjakkan kaki dan menjadi seorang pendidik, aku tak pernah menyangka akan
menghadapi liku masalah seperti ini. Di awal karirku sebagai seorang pendidik
aku dipertemukan dengan anak-anak yang begitu homogen berdasarkan kasta
intelektual. Uniknya aku mendapat kesempatan manis untuk menjadi wali kelas
mereka dengan kategori kelas the lowest.
Ternyata waktu menahanku. Jika aku
memilih mundur pada saat itu, aku belum tentu dapat melihat mereka tumbuh
menjadi pribadi-pribadi yang siap bertahan di tengah ketakberdayaan mereka atas
sistem yang telah diterapkan, di tengah himpitan keluhan dan cemoohan, dikala
yang lain berguguran.
Seorang guru adalah pejuang peradaban yang semestinya
mampu berhadapan dengan segala macam kondisi dan segala macam karakter siswa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar