Oleh Ina
Muslimah, S.Pd.
Andro_2_98_955_7_287_2012
Andro_2_98_955_7_287_2012
“Bun, kita ga mau ikut Pekan Bahasa ah…kita
malu, kita ga bisa, ga akan menang. Udah ah, aku ga peduli deh” celetuk Dian saat aku menyodorkan formulir
Pekan Bahasa kepada anak kelasku.
“Ya dicoba dulu. Daftar dulu saja. Kita kan
bisa latihan” kucoba meyakinkan anak-anakku.
“Tapi Bun, siapa yang akan menjadi perwakilan
di setiap item lombanya? Story Telling, Cerdas
Cermat, Running Dictation, Spelling, Imla, pidato Bahasa Arab, Drama, dan lainnya.” tanya Lyan si ketua murid.
“Siapa yang merasa mampu dan berminat, silahkan daftar sesuai ahlinya ya!” jawabku dengan polosnya.
“Bun, untuk drama mungkin kami siap, karena
kita digabung dengan kelas 7 dan 9 berdasarkan nama kelas, untuk imla ada
Husnul. Aku mungkin ikut Story
Telling, tapi
untuk item yang lainnya tidak tahu. Teman-teman
tidak ada yang menyanggupi.”
begitu Lyan menjelaskan kondisi kelas.
“Lagian Bun, kalau kita ikut lomba cuma bikin
malu. Ntar diketawain lagi!”
tolak Dian dengan semangatnya.
Kutarik nafasku dalam-dalam mencoba mencari
jalan dari kondisi ini. Aku sadar bahwa kelas ini adalah kelas dengan grade
terbawah. Kelas dengan segudang permasalahan dan nampak tidak akan pernah berprestasi. Kupikir suatu hal yang keliru menyelenggarakan lomba yang mengunggulkan satu
potensi anak didik, sedangkan
potensi yang lain tersisihkan.
Mungkin anak didikku tidak memiliki keahlian di bidang lomba yang ada, tapi aku
yakin suatu saat akan kutemukan cara lain untuk menujukkan kualitas mereka.
“Lyan tolong masukkan teman-teman yang siap
mewakili kelas. Bukan kemenangan yang kita cari, tapi bunda ingin kamu
tunjukkan bahwa kamu berani tampil” pintaku tegas dan anak-anak pun tak ada
lagi yang menyanggah.
“Baik Bun!” Lyan menyanggupi arahanku.
Sepekan sebelum perhelatan Pekan Bahasa
dimulai, kusapa anak-anakku sambil mencari tahu kesiapan mereka. Sistem lomba
yang ditetapkan kusadari amat merugikan kelasku.
“Mar, kenapa ada di kamar? Kamu ga latihan?”
tanyaku penasaran pada Mary yang sedang bersantai ria di atas kasurnya, padahal dia memiliki agenda latihan
drama kala itu.
“Malas Bun, aku malu sama adik kelas.” Mary
beralasan yang amat mengganggu hatiku.
“Lho Zizan, Dian, kalian juga di sini?” ternyata Mary tak
sendiri kala itu. Mereka kompak untuk tidak mengikuti latihan
“Bun, kita tuh gak bisa bun. Adik kelas aja ngeliat kita tuh
bodoh” Zizan menimpaliku
“Hufftt…kalian akan menjadi seperti yang
mereka katakan jika kalian tetap di sini
tanpa berbuat sesuatu. Silahkan terserah kalian!” emosiku sedikit naik dan
kutinggalkan mereka menuju kamar lainnya.
Nyaris aku patah arang karena keputusasaan anak didikku. Setelah
kejadian itu, kubiarkan diriku menghilang dari pandangan anak-anakku hingga
perhelatan Pekan Bahasa dimulai.
Setiap item lomba kusaksikan secara utuh. Aku berharap melihat potensi
yang belum tergali dari anak didikku menjadi special moment yang akan
merubah citra mereka. Aku sedikit cemas jika mengingat kembali kejadian minggu
lalu. Sempat terpikir bahwa kemungkinan besar ada beberapa lomba yang tidak
jadi diikuti anak didikku.
Lomba spelling
berlangsung. Oh, ternyata Asma jadi ikut,
Alhamdulillah.
“MEASURE is em – i – i – es – yu – ar ,
sudah... “Asma mencoba mengeja satu per satu huruf dari kata yang diajukan
juri.
“Enough?
Are you sure?” juri bertanya sekadar meyakinkan Asma.
“Ayo, Asma! Satu huruf keliru, satu huruf belakang kurang...pliiiis…Ya Allah, mudahkan!” gumamku dalam hati.
“Yeah…insya Allah” Asma sedikit tak yakin.
“Oke, silahkan kembali ke tempat!” juri
menyudahi kesempatan untuk mengoreksi ejaan.
“Ah, nyaris saja…” teriakku yang sedang berada
di jajaran penonton.
Kuhargai keberanian Asma untuk ikut dalam
lomba ini. Memang untuk jenis lomba spelling, jika kita tak mengenal kata yang
diberikan maka setidaknya listening kita harus baik dan terbiasa dengan
bahasa asing. Namun kukira Asma tidak terlalu buruk.
Lomba berikutnya Imla. Husnul
tentunya sudah berada di tempat. Seorang pembaca sedang mendiktekan kalimat Arab yang harus ditulis peserta
pada white board.
“Khoirukum
man ta’allamal qur’ana wa alamahu…. Khoirukum man ta’allamal qur’ana wa alamahu…
silahkan ditulis! Waktunya
hanya 5 menit!” begitu
kalimat yang didiktekan dan diulang dua kali oleh petugas pembaca soal.
Dua orang juri berkeliling memeriksa tulisan
setiap peserta. Para juri langsung menunjukkan letak kesalahan penulisan dengan
menyilang bagian tersebut. Aku yang hanya menonton menjadi berdebar dibuatnya
ingin mengetahui hasil tulisan Husnul.
“Wafa yang keliru satu, dua, tiga buah. Via salahnya
satu, dua. Husnul, ini betul, betul, betul, betul, hmm maaf, salah satu! Ayu betul, betul, salah satu, dua .…” juri terlihat tak kenal ampun dengan
kesalahan tulisan sedikit apapun. Aku makin berdebar.
“Bun, gimana ya? mudah-mudahan gak ada yang bener semua.”
dalam harap-harap cemas Husnul
merapat padaku.
“Semoga
saja. Tenanglah, tidak apa-apa” aku berusaha menenangkan.
“Audy yang ini betul, betul, betul. Hmm, sebentar! O, betul semua” hasil pemeriksaan
juri membuat Husnul menjadi lemas.
Cemberutnya membuat pipinya yang chubby
makin chubby. Aku hanya tersenyum
padanya menandakan semuanya tak masalah.
Di bagian lain sedang berlangsung lomba story
telling. Lyan menjadi wakil dari kelas kami. Sebuah cerita fabel diangkat
dalam lomba ini.
“Once upon a time, in the wild jungle a little
mouse and a wild cat …bla..bla..bla”
Lyan menyampaikan alur cerita dengan runut dan fasih.
Lucu sekali Lyan dengan kostum yang dikenakan.
Baju belang hitam putih. Sepertinya Lyan ingin berdandan layaknya tikus, tapi
lebih mirip kerbau. Lyan membawa
serta properti pelengkap lainnya. Aku terkekeh melihatnya.
“Oh, sweety cat…I’m very hungry. Please,
gimme some…” suara Lyan yang lucu ketika menirukan little mouse dan wild cat secara bergantian membuat
penonton terhibur.
Aku tercerahkan. Dan Aha! Lyan kupikir cerdas dalam hal ini. Gesture yang
ia tunjukkan dan pengolahan vokal
yang dilakukan cukup baik. Lyan memiliki bakat luar biasa di bidang ini.
“Yeah, I got it” teriakku dalam hati.
Beralih ke lomba yang lain, Drama. Wow! Ternyata Mary dan Zizan jadi maju. Mereka terlihat saling dorong.
“Ayo Mar, kamu duluan maju ah!” Zizan menggerutu pada
Mary.
“Ah, kamu aja sih!” Mary berbalik memerintah.
Meskipun mereka sebagai figuran, tapi mereka sudah cukup
baik. Aku tersenyum lega dengan tampilnya mereka di atas panggung.
Tak kusangka Pekan Bahasa tengah memasuki hari
terakhir. Baru kusadari ternyata tak satupun anak-anakku yang mundur. Mereka
telah memecahkan kebuntuan persepsi dalam diri mereka.
Hari pertama selepas Pekan Bahasa anak-anak
menyambutku dengan wajah cemberut di kelas.
“Bun, kita banyak kalah” keluh Husnul
“Tapi kita masuk dalam satu kategori, Bun”
kata Asma menyanggah
Aku menyunggingkan senyuman dan memberi mereka
applause. Kuberikan serenceng penguat bagi mereka
“Meskipun kelas kita hanya memperoleh satu
kategori penghargaan yang diwakili Lyan, tapi kalian telah menang. Menang
melawan kepicikan pikiran, menang melawan rasa malu, menang melawan ego dan
gengsi, menang melawan diri sendiri”
“Coba
Husnul, bagaimana rasanya setelah kamu ikut lomba?” tanyaku pada Husnul, anak
yang cenderung pendiam dan pemalu.
“Iya
sih, Bun. Aku jadi ga takut lagi. Jadi biasa” jawabnya sambil tersenyum dengan
jajaran gigi yang sedikit terlihat.
Sejak saat itu, tak ada lagi keluhan dan kebingungan
saat kegiatan serupa untuk mata pelajaran lain diselenggarakan. Mereka siap
mendaftarkan diri mewakili kelasnya. Khusus untuk Lyan, kemampuannya semakin
terasah dan menjadi wakil untuk item lomba yang sama pada semester berikutnya.
***
Sistem grading belum juga dihapuskan
pada saat anak-anak memasuki kelas 9. Kembali aku mendapat amanah memegang
kelas low. Komposisi anak-anak pun tak jauh berbeda dengan setahun lalu.
Kupikir terlalu lucu jika tetap menetapkan sistem yang sama di sekolah ini.
Sekolah yang sesungguhnya memiliki banyak potensi. Kejadian-kejadian yang tak
jauh berbeda kembali berulang, walaupun tak separah setahun lalu. Anak-anakku
kali ini lebih kuat dan lebih siap. Lega rasanya telah menemani anak didikku
hingga mereka lulus. Aku berharap sistem ini dihapuskan di tahun depan.
Memberlakukan kelas dengan sistem grading
secara utuh sama artinya menumbuhkan kasta di antara anak didik kita. Padahal melalui pendidikan pula para
pendahulu kita mencoba
meruntuhkan sistem perbudakan, sistem kasta. Sistem ini hanya akan memberikan
cap bagi satu golongan bahwa mereka memiliki kemuliaan, sementara golongan yang
lain seolah tidak memiliki kompetensi dan tidak memiliki
keunggulan dibanding yang lain. Padahal
potensi lahiriah anak didik kita seharusnya
lepas dari sistem seperti ini.
Bahkan lebih luas dari angkasa
raya. Jika ada 7 miliyar manusia yang tinggal di bumi, maka Allah sang Pemilik
Alam telah menitipkan sedikitnya 7 miliyar potensi yang dapat digali, dan
tentunya lebih dari itu.
Salah satu tugas seorang pendidik adalah
menggali potensi-potensi yang ada
dalam diri anak didik. Mungkin tidak cukup satu atau dua hari, bulan,
atau tahun. Mungkin pula ibarat barang tambang potensi tersebut berada pada
perut bumi yang paling dalam. Pendidiklah para penambangnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar