Jumat, 27 Juli 2012

Meruntuhkan Malu


Oleh Ina Muslimah, S.Pd.
Andro_2_98_955_7_287_2012

                “Bun, kita ga mau ikut Pekan Bahasa ah…kita malu, kita ga bisa, ga akan menang. Udah ah, aku ga peduli deh” celetuk Dian saat aku menyodorkan formulir Pekan Bahasa kepada anak kelasku.
                “Ya dicoba dulu. Daftar dulu saja. Kita kan bisa latihan” kucoba meyakinkan anak-anakku.
                “Tapi Bun, siapa yang akan menjadi perwakilan di setiap item lombanya? Story Telling, Cerdas Cermat, Running Dictation, Spelling, Imla, pidato Bahasa Arab, Drama, dan lainnya.” tanya Lyan si ketua murid.
                “Siapa yang merasa mampu dan berminat, silahkan daftar sesuai ahlinya ya!” jawabku dengan polosnya.
                “Bun, untuk drama mungkin kami siap, karena kita digabung dengan kelas 7 dan 9 berdasarkan nama kelas, untuk imla ada Husnul. Aku mungkin ikut Story Telling, tapi untuk item yang lainnya tidak tahu. Teman-teman tidak ada yang menyanggupi.” begitu Lyan menjelaskan kondisi kelas.
                “Lagian Bun, kalau kita ikut lomba cuma bikin malu. Ntar diketawain lagi!” tolak Dian dengan semangatnya.
                Kutarik nafasku dalam-dalam mencoba mencari jalan dari kondisi ini. Aku sadar bahwa kelas ini adalah kelas dengan grade terbawah. Kelas dengan segudang permasalahan dan nampak tidak akan pernah berprestasi. Kupikir suatu hal yang keliru menyelenggarakan lomba yang mengunggulkan satu potensi anak didik, sedangkan potensi yang lain tersisihkan. Mungkin anak didikku tidak memiliki keahlian di bidang lomba yang ada, tapi aku yakin suatu saat akan kutemukan cara lain untuk menujukkan kualitas mereka.
                “Lyan tolong masukkan teman-teman yang siap mewakili kelas. Bukan kemenangan yang kita cari, tapi bunda ingin kamu tunjukkan bahwa kamu berani tampil” pintaku tegas dan anak-anak pun tak ada lagi yang menyanggah.
                “Baik Bun!” Lyan menyanggupi arahanku.
                Sepekan sebelum perhelatan Pekan Bahasa dimulai, kusapa anak-anakku sambil mencari tahu kesiapan mereka. Sistem lomba yang ditetapkan kusadari amat merugikan kelasku.
                “Mar, kenapa ada di kamar? Kamu ga latihan?” tanyaku penasaran pada Mary yang sedang bersantai ria di atas kasurnya, padahal dia memiliki agenda latihan drama kala itu.
                “Malas Bun, aku malu sama adik kelas.” Mary beralasan yang amat mengganggu hatiku.
                “Lho Zizan, Dian, kalian juga di sini?” ternyata Mary tak sendiri kala itu. Mereka kompak untuk tidak mengikuti latihan
                “Bun, kita tuh gak bisa bun. Adik kelas aja ngeliat kita tuh bodoh” Zizan menimpaliku
                “Hufftt…kalian akan menjadi seperti yang mereka katakan jika kalian tetap di sini tanpa berbuat sesuatu. Silahkan terserah kalian!” emosiku sedikit naik dan kutinggalkan mereka menuju kamar lainnya.
                Nyaris aku patah arang karena keputusasaan anak didikku. Setelah kejadian itu, kubiarkan diriku menghilang dari pandangan anak-anakku hingga perhelatan Pekan Bahasa dimulai.
Setiap item lomba kusaksikan secara utuh. Aku berharap melihat potensi yang belum tergali dari anak didikku menjadi special moment yang akan merubah citra mereka. Aku sedikit cemas jika mengingat kembali kejadian minggu lalu. Sempat terpikir bahwa kemungkinan besar ada beberapa lomba yang tidak jadi diikuti anak didikku.
                Lomba spelling berlangsung. Oh, ternyata Asma jadi ikut, Alhamdulillah.
                “MEASURE is em – i – i – es – yu – ar , sudah... “Asma mencoba mengeja satu per satu huruf dari kata yang diajukan juri.
                Enough? Are you sure?” juri bertanya sekadar meyakinkan Asma.
                “Ayo, Asma! Satu huruf keliru, satu huruf belakang kurang...pliiiis…Ya Allah, mudahkan!” gumamku dalam hati.
                “Yeah…insya Allah” Asma sedikit tak yakin.
                “Oke, silahkan kembali ke tempat!” juri menyudahi kesempatan untuk mengoreksi ejaan.
                “Ah, nyaris saja…” teriakku yang sedang berada di jajaran penonton.
                Kuhargai keberanian Asma untuk ikut dalam lomba ini. Memang untuk jenis lomba spelling, jika kita tak mengenal kata yang diberikan maka setidaknya listening kita harus baik dan terbiasa dengan bahasa asing. Namun kukira Asma tidak terlalu buruk.
                Lomba berikutnya Imla. Husnul tentunya sudah berada di tempat. Seorang pembaca sedang mendiktekan kalimat Arab yang harus ditulis peserta pada white board.
                Khoirukum man ta’allamal qur’ana wa alamahu…. Khoirukum man ta’allamal qur’ana wa alamahu… silahkan ditulis! Waktunya hanya 5 menit!” begitu kalimat yang didiktekan dan diulang dua kali oleh petugas pembaca soal.
                Dua orang juri berkeliling memeriksa tulisan setiap peserta. Para juri langsung menunjukkan letak kesalahan penulisan dengan menyilang bagian tersebut. Aku yang hanya menonton menjadi berdebar dibuatnya ingin mengetahui hasil tulisan Husnul.
                “Wafa yang keliru satu, dua, tiga buah. Via salahnya satu, dua. Husnul, ini betul, betul, betul, betul, hmm maaf, salah satu! Ayu betul, betul, salah satu, dua .…” juri terlihat tak kenal ampun dengan kesalahan tulisan sedikit apapun. Aku makin berdebar.
                “Bun, gimana ya? mudah-mudahan  gak ada yang bener semua.” dalam harap-harap cemas Husnul merapat padaku.
                Semoga saja. Tenanglah, tidak apa-apa” aku berusaha menenangkan.
                “Audy yang ini betul, betul, betul. Hmm, sebentar! O, betul semua” hasil pemeriksaan juri membuat Husnul menjadi lemas. Cemberutnya membuat pipinya yang chubby makin chubby. Aku hanya tersenyum padanya menandakan semuanya tak masalah.
                Di bagian lain sedang berlangsung lomba story telling. Lyan menjadi wakil dari kelas kami. Sebuah cerita fabel diangkat dalam lomba ini.
                “Once upon a time, in the wild jungle a little mouse and a wild cat  …bla..bla..bla” Lyan menyampaikan alur cerita dengan runut dan fasih.
                Lucu sekali Lyan dengan kostum yang dikenakan. Baju belang hitam putih. Sepertinya Lyan ingin berdandan layaknya tikus, tapi lebih mirip kerbau. Lyan membawa serta properti pelengkap lainnya. Aku terkekeh melihatnya.
                Oh, sweety cat…I’m very hungry. Please, gimme some…” suara Lyan yang lucu ketika menirukan little mouse dan wild cat secara bergantian membuat penonton terhibur.
                Aku tercerahkan. Dan Aha! Lyan kupikir cerdas dalam hal ini. Gesture yang ia tunjukkan dan pengolahan vokal yang dilakukan cukup baik. Lyan memiliki bakat luar biasa di bidang ini.
                Yeah, I got it” teriakku dalam hati.
                Beralih ke lomba yang lain, Drama. Wow! Ternyata Mary dan Zizan jadi maju. Mereka terlihat saling dorong.
                “Ayo Mar, kamu duluan maju ah!” Zizan menggerutu pada Mary.
                “Ah, kamu aja sih!” Mary berbalik memerintah.
                 Meskipun mereka sebagai figuran, tapi mereka sudah cukup baik. Aku tersenyum lega dengan tampilnya mereka di atas panggung.  
                Tak kusangka Pekan Bahasa tengah memasuki hari terakhir. Baru kusadari ternyata tak satupun anak-anakku yang mundur. Mereka telah memecahkan kebuntuan persepsi dalam diri mereka.
                Hari pertama selepas Pekan Bahasa anak-anak menyambutku dengan wajah cemberut di kelas.
                “Bun, kita banyak kalah” keluh Husnul
                “Tapi kita masuk dalam satu kategori, Bun” kata Asma menyanggah
                Aku menyunggingkan senyuman dan memberi mereka applause. Kuberikan serenceng penguat bagi mereka
                “Meskipun kelas kita hanya memperoleh satu kategori penghargaan yang diwakili Lyan, tapi kalian telah menang. Menang melawan kepicikan pikiran, menang melawan rasa malu, menang melawan ego dan gengsi, menang melawan diri sendiri”
                Coba Husnul, bagaimana rasanya setelah kamu ikut lomba?” tanyaku pada Husnul, anak yang cenderung pendiam dan pemalu.
                Iya sih, Bun. Aku jadi ga takut lagi. Jadi biasa” jawabnya sambil tersenyum dengan jajaran gigi yang sedikit terlihat.
                Sejak saat itu, tak ada lagi keluhan dan kebingungan saat kegiatan serupa untuk mata pelajaran lain diselenggarakan. Mereka siap mendaftarkan diri mewakili kelasnya. Khusus untuk Lyan, kemampuannya semakin terasah dan menjadi wakil untuk item lomba yang sama pada semester berikutnya.
***
                Sistem grading belum juga dihapuskan pada saat anak-anak memasuki kelas 9. Kembali aku mendapat amanah memegang kelas low. Komposisi anak-anak pun tak jauh berbeda dengan setahun lalu. Kupikir terlalu lucu jika tetap menetapkan sistem yang sama di sekolah ini. Sekolah yang sesungguhnya memiliki banyak potensi. Kejadian-kejadian yang tak jauh berbeda kembali berulang, walaupun tak separah setahun lalu. Anak-anakku kali ini lebih kuat dan lebih siap. Lega rasanya telah menemani anak didikku hingga mereka lulus. Aku berharap sistem ini dihapuskan di tahun depan.
                Memberlakukan kelas dengan sistem grading secara utuh sama artinya menumbuhkan kasta di antara anak didik kita. Padahal melalui pendidikan pula para pendahulu kita mencoba meruntuhkan sistem perbudakan, sistem kasta. Sistem ini hanya akan memberikan cap bagi satu golongan bahwa mereka memiliki kemuliaan, sementara golongan yang lain seolah tidak memiliki kompetensi dan tidak memiliki keunggulan dibanding yang lain. Padahal potensi lahiriah anak didik kita seharusnya lepas dari sistem seperti ini. Bahkan lebih luas dari angkasa raya. Jika ada 7 miliyar manusia yang tinggal di bumi, maka Allah sang Pemilik Alam telah menitipkan sedikitnya 7 miliyar potensi yang dapat digali, dan tentunya lebih dari itu.
                Salah satu tugas seorang pendidik adalah menggali potensi-potensi yang ada dalam diri anak didik. Mungkin tidak cukup satu atau dua hari, bulan, atau tahun. Mungkin pula ibarat barang tambang potensi tersebut berada pada perut bumi yang paling dalam. Pendidiklah para penambangnya.
***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar